Television Kills the Video Stars
-
Uzone.id - "Bro, hati-hati kalau posting-posting, nanti kena UU ITE," Sejurus kemudian muncul pemberitaan, sejumlah tokoh di Tanah Air yang terjerat aturan karet tersebut gara-gara media sosial, gara-gara konsep penyiaran.
Seketika kita menjadi negara yang kaku, negara yang sok melek dan mengacu pada aturan hukum. Sialnya, aturan hukum itu sendiri seringnya berupa ambigu yang berwarna abu-abu. Padahal, hukum memang tidak pernah mencapai idealis keadilan, tapi hukum adalah sebuah kepastian.Kepastian itu juga yang pada akhirnya menjadi landasan gugatan sebuah stasiun swasta, yang ingin melakukan review terhadap salah satu perundang-undangan, khususnya menyoroti soal penyiaran.
Baca juga: Gugatan RCTI Ancam Livestream di Medsos Harus Berizin
Setelah kita gak 'bebas' lagi untuk mengutarakan pendapat di media sosial, bahkan ada potensi ke depan kalau salah satu fitur di media sosial yang lagi digandrungi saat ini pun, terancam bakal haram dilakukan di negara demokratis tercinta ini; Penyiaran langsung alias bahasa gaulnya Livestreaming.
Salah satu stasiun televisi nasional menggugat Undang-undang No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Kalau gugatan uji materi ini dikabulkan Makamah Agung, maka selesai sudah, judul diatas akan berkumandang di headline-headline media se Indonesia! "Television Kills the Video Stars.
Sebab, salah satu efek dari gugatan uji materil tersebut secara sederhana bisa digambarkan, bakal mengharamkan segala bentuk siaran berbasis internet di media sosial semisal Instagram, Facebook hingga Youtube, kecuali sudah memiliki izin resmi penyiaran.
Yang digugat dari Undang-undang tersebut adalah Pasal 1 Ayat 2, "Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lain untuk bisa diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran."
Alasan menggugat adalah pasal tersebut ambigu dan menyebabkan ketidakpastian hukum, sehingga meminta penyedia siaran berbasis internet turut diatur dalam UU Penyiaran.
Baiklah, kita tarik napas dulu sampai disini...
Jadi kalian-kalian wahai para netizen narsis dimanapun kalian berada, kalau gugatan ini dikabulkan MK, niscaya pengeluaran bulanan kalian untuk kuota internet akan semakin hemat, karena kalian jelas gak boleh lagi live di IG, FB, Youtube atau sejenisnya.
Sekarang kita coba hitung secara kasar dan sederhana, kalau sebenernya nonton TV itu masih menjadi salah satu media penyebar informasi paling murah meriah di negara ini.
Kalian cuma perlu bayar listrik (kalau sudah punya TV di rumah) dan gak ada lagi pengeluaran lain. Coba bandingkan kalau kalian harus livestream dan atau menonton livestream. Konten sreaming sendiri, masih jadi konten yang paling boros kuota.
Artinya, selain harus beli hape atau laptop mumpuni, kalian juga harus bayar kuota internet yang gak murah. Itu kenapa pemburu kuota gratis masih banyak di negara ini.
Dari situ jadi muncul pertanyaan yang juga sederhana, lalu kenapa malah banyak orang berbondong-bondong mengalihkan hiburan mereka dari televisi ke layar smartphone atau laptop?
Bukankah secara keekonomisan lebih realistis nonton TV daripada nonton Youtube? Jangan-jangan ini karena berdasarkan apa yang ditayangkan, bukan soal keekonomisan lagi.
Sudah jadi rahasia umum kalau program-program televisi itu semakin kurang mendidik dan informatif, hampir semuanya hanya berisi hiburan kosong yang kalian gak tau tertawa untuk apa dan kenapa.
Apalagi juga drama-drama sinetron yang ketika ditonton efeknya sampai memengaruhi kehidupan di dunia nyata; jadi banyak drama juga di keseharian.
Sehingga banyak orang jengah dan malas untuk menonton TV meskipun gratis. Sementara nonton Youtube, meski lebih mahal dan banyak juga konten-koten receh pemburu Adsense, tetap lebih variatif dan bebas dalam penyampaian konten-kontennya, jadi lebih disukai..
Padahal kalau kalian tau, untuk bisa menyiarkan satu program saja--yang gratis bisa kita tonton, berapa investasi yang harus dikeluarkan stasiun TV? Gak terhitung dengan jari. Begitu juga sebaliknya untuk yang menyiarkan Livestream cukup pakai hape sejutaan pun bisa!
Itu kenapa, meski barangkali gak disebutkan secara terbuka, stasiun televisi merasa dirugikan dengan Undang-undang Penyiaran tersebut, karena semua orang di Indonesia jadi punya akses yang sama dengan mereka; menyiarkan sesuatu, tanpa harus diribetin sama izin dan perpajakan lainnya.
Di sisi lain, tindakan stasiun televisi menggugat Undang-undang Penyiaran dianggap mengancam para bintang-bintang video streaming yang sudah berjaya dengan keunikan mereka masing-masing.
Baca juga: Pengamat Menilai Gugatan RCTI Sulit Dikabulkan
Ada isu besar mengkebiri kebebasan berkreasi berbasis internet di negara ini kalau undang-undang tersebut direvisi.
Sebenarnya, kami pun sebagai media resmi, seharusnya juga merasa dirugikan dengan blogger, status Facebook yang seliweran bebas di timeline, juga seleb-seleb-Twitt yang dengan asiknnya menyebarkan informasi melalui media sosial mereka, tanpa berizin, tanpa etika jurnalistik dan tanpa lain-lainnya.
Apakah kami protes? Tentu tidak. Karena buat apa? itu sama aja buang-buang energi dan ngebuat kreatifitas kami mandek. Namanya perubahan dan perkembangan teknologi, kami sadari tidak akan bisa dibendung.
Apa yang harus kami lakukan? Adalah beradaptasi, berpikir kreatif bagaimana caranya kami tidak ditinggalkan hanya karena kemasan dan kualitas konten kami dianggap jadul dan gak berfaedah untuk banyak orang.
Tapi kita pun jangan langsung berprasangka, kalau gugatan tersebut sebenernya hanya soal karena industri televisi sudah diujung tanduk, sudah senja, sehingga mulai ditinggalkan.
Ngebuat stasiun televisi bukannya berpikir kreatif soal penyajian konten, tapi pakai cara instan langsung merusak ke akarnya saja, berlindung dibalik Undang-undang--yang sialnya sangat ambigu dan abu-abu tanpa kepastian hukum.
Tidak-tidak, barangkali memang bukan untuk itu alasan mereka menggugat UU Penyiaran. Corporate Legal Director MNC Group, Christophorus Taufik, mengutip Tempo, sudah memberikan penjelasan.
"Bukan kebiri Kreativitas Medsos, Uji Materi UU Penyiaran untuk kesetaraan dan tanggung jawab moral bangsa," kata dia.
Jadi kalau gugatan ini akan mengakibatkan masyarakat gak bisa lagi livestream di medsos, itu tidak benar.
Kominfo pun sudah membeberkan pula dampaknya kalau UU Penyiaran ini direvisi. masyarakat bakal gak bebas lagi memanfaatkan fitur siaran dalam platform media sosial, karena hanya boleh dilakukan oleh lembaga penyiaran yang berizin.
Lalu dimana kesetaraannya? Seorang kita atau seorang Jerinx misalnya, harus melawan korporasi seperti misalnya MNC Group yang dalam hal apapun jelas lebih unggul ketimbang recehan individu-individu. Sangat tidak setara saudara-saudara...
Barangkali, memang pada akhirnya ini hanya soal bisnis. Salah satunya ditentukan oleh apa yang mau dijual, dalam konteks ini, adalah sebuah konten. Pengemasan dan kualitas konten sangat berpengaruh dalam berdagang di era digital seperti sekarang.
Apalagi saat pandemi, nganggur di rumah bukannya malah ngebuat banyak orang nonton TV, tapi malah sibuk dengan media sosial dan segala persiaran langsungnya yang jadi sesuatu yang keren, cepat, juga interaktif, ketimbang hanya melongo di depan layar televisi.
Sekali lagi, yang sudah berjalan biarlah berjalan, yang akan terjadi mari kita sambut. Perubahan tidak bisa dibendung dengan cara apapun, dia akan selalu menemukan jalannya.
Meskipun sesuatu mencoba membunuh dan benar akan mati, masih banyak lagi yang lahir dan bertahan hidup sambil mencari jalannya sendiri untuk berkibar dan berjaya.
Apakah nantinya "Television Kills the Video Stars" bakal benar-benar kejadian dan terpampang di berbagai headline media-media? Kita nantikan saja kelanjutan drama nasional buatan salah satu televisi nasional kita tercinta ini..