Ulasan Film: Dumbo
Seperti semua animasi Disney yang dirilis kembali dalam bentuk live-action, Dumbo punya akar cerita yang klasik namun situasi dan konfliknya dibuat lebih nyata serta rumit. Dari bagaimana Dumbo tercipta, sudah dibuat lebih nyata.
Kalau dalam versi animasi delapan dekade lalu ia merupakan kado yang diantarkan burung bangau untuk seekor gajah bernama Mrs. Jumbo, kini ia terlahir dari seekor gajah milik Max Medici (diperankan Danny DeVito), seorang pemilik sirkus. Medici berharap kehadiran Dumbo dapat menjadi daya tarik utama arena sirkusnya yang mulai kehilangan penonton.
Ia pun menunjuk Holt Farier (Collin Farrel), seorang mantan koboi sirkus, bersama anak-anaknya untuk menjaga dan melatih bayi gajah tersebut agar siap pentas.
Namun harapan itu pupus setelah melihat Dumbo terlahir dengan telinga yang sangat besar dan justru menjadi ejekan penonton. Sang ibu gajah pun marah melihat bayinya diperlakukan seperti itu, hingga akhirnya mengamuk dan memporak-porandakan arena sirkus.
Akan tetapi, kondisi sirkus yang sedang berada di ambang keterpurukan mendadak berubah saat kemampuan tersembunyi Dumbo untuk terbang akhirnya terungkap. Dumbo pun jadi primadona. Ia bahkan turut menarik pengusaha hiburan tersohor V.A Vandervere (Michael Keaton) yang berambisi menjadikan Dumbo bintang baru di arena bermain miliknya, Dreamland.
Di balik kegembiraan setiap orang, Dumbo sendiri harus menghadapi situasi berat usai dipisahkan dari ibunya yang dianggap gajah gila.
Bila dibandingkan film animasinya, versi terbaru Dumbo bisa dikatakan lebih baik.
Pertama, dari segi pesan yang dibawa, film ini memperlihatkan bagaimana tersiksanya hewan di balik pertunjukan sirkus. Poin ini setidaknya cukup membuka mata bahwa kita tak sepatutnya bergembira bila menyaksikan pertunjukan hewan di arena sirkus.
Ditampilkan pula gambaran ikatan antara ibu dan anak yang sangat menyentuh, meski mereka dua ekor gajah. Mata biru Dumbo berbicara begitu dalam saat ia harus terpisah dari ibunya.
Sayangnya, pengembangan cerita yang ditulis terasa kurang berkesan dan dieksplorasi dengan baik. Alur cerita dipenuhi konflik yang membosankan sekaligus mudah ditebak. Penonton pun kurang dikasih kesempatan mengenal lebih dalam dan larut pada apa yang dialami karakter di film ini. Alih-alih, justru dihantam konflik bertubi-tubi.
Pada akhirnya, sisi emosional di film ini pun nanggung. Belum sepenuhnya ikut bersedih dengan situasi atau jatuh cinta pada karakternya, penonton sudah dihadapi konflik baru.
Beruntung, Burton membawa karakter Dumbo sebagai sosok menggemaskan yang kemunculannya cukup ditunggu. Dan mungkin, itu faktor yang membuat penonton bertahan sampai selesai.
Selebihnya, suguhan menarik dari arahan sutradara film-film fantasi seperti Alice in Wonderland hingga Charlie and Chocolate Factory ini rasanya hanya dari sinematografi yang indah serta deretan nama aktor dan aktris ternama.