Yang Perlu Anda Tahu tentang Kematian Bayi Debora di RS Mitra Keluarga
Henny Silalahi masih berat mengenang perjuangannya bersama suaminya, Rudianto Simanjorang, yang mati-matian menyelamatkan Tiara Debora Simanjorang.
Mereka harus merelakan putri bungsunya, terkapar tak bernyawa di ruang IGD RS Mitra Keluarga Kalideres Jakarta Barat, Minggu (3/9)."Kalaupun saya datang kayak orang gembel, atau kalaupun saya gembel, harusnya kalian (pihak rumah sakit) menghargai anak saya. Nyawa dong didahulukan," ujar Henny saat ditemui wartawan di rumahnya di Jalan Benda, Tangerang, Sabtu (9/9).
Hati Henny terlanjur pilu. Suasana duka masih menyelimuti saat kumparan (kumparan.com) menyambangi rumahnya. Dengan sabar, mereka kembali menceritakan kronologi bayi mungilnya yang 'membeku' perlahan, hingga pelukan terakhir Henny untuk Tiara itu masih dirasakannya.
Sambil berkaca-kaca, Henny menyebut kegagalan perjuangannya lantaran pihak rumah sakit yang tidak bersedia menangani Tiara dengan sigap. Hal itu, kata Henny, dikarenakan uang muka yang harus dibayarkan terlebih dahulu sebesar Rp 19,8 juta.
Kisah Debora diunggah oleh seseorang bernama Birgaldo Sinaga di akun Facebooknya. Henny mengaku sudah menceritakan semua kisahnya kepada Birgaldo.
"Semua yang dituliskan Bapak Birgaldo itu benar cerita tentang anak saya, silakan kutip dari sana. Saya masih shock belum bisa bicara banyak," kata Henny.
Kejadian ini bermula pada Minggu dini hari pukul 02.30 WIB. Debora sesak nafas. Nafasnya tersengal dan batuk-batuk berdahak.
Bantal Debora selalu basah. Henny mengganti bantal itu untuk ketiga kalinya. Namun Henny merasa ada yang janggal pada kondisi kesehatan putrinya. "Tapi saya lihat dia punya bantal itu basah," ujar Henny.
Henny segera membangunkan suaminya. Mereka memutuskan membawa bayinya segera ke rumah sakit terdekat: RS Mitra Keluarga Kalideres.
Henny tak peduli dengan daster yang ia kenakan menembus dinginnya malam saat mengendarai motor bersama Rudi. Di perjalanan, Henny terus mendekap Debora, memastikan putrinya tidak terkena angin.
Sesampainya di rumah sakit, Iren, dokter yang sedang berjaga saat itu, melakukan tindakan pertolongan pertama untuk Debora. Suhu tubuh Debora dicek, dahaknya diencerkan dengan diberikan penguapan.
Hasil diagnosis Dokter Iren menyebutkan bahwa Debora harus segera dibawa ke Ruang PICU (Pediatric Intensive Care Unit). "Dokternya bilang, 'Bu harus ya, harus ke PICU' kata dia gitu," terang Henny.
Masalah lain pun terjadi. Sebelum Debora masuk ke ruang PICU, Henny dan Rudi diharuskan membayar uang muka sebesar Rp 19,8 juta. Rudi bergegas pulang, mengambil uang di ATM sebesar Rp 5 juta. Dia berpikir, pihak rumah sakit dapat mengerti keadaan keluarganya --dalam keadaan darurat.
Mereka sempat memberikan kartu BPJS kepada pihak rumah sakit sebagai jaminannya. Namun, kata Henny, pihak rumah sakit menolaknya, dengan dalih belum bekerja sama dengan pemerintah untuk penanganan pasien BPJS.
Segala macam cara dilakukan Henny. Dia menyuruh Rudi untuk menelpon sanak saudara agar dapat memberikan bantuan.
Henny juga berusaha untuk menelepon rekan-rekannya, meminta referensi rumah sakit mana saja yang menerima pasien BPJS dan terdapat ruang PICU di dalamnya. Debora sempat ingin dilarikan ke RS Koja.
Hingga akhirnya, Henny melihat monitor denyut jantung Debora berhenti berdetak. Henny dan Rudi menangis histeris, tidak percaya nyawa putrinya tidak tertolong secepat dan semudah itu.
Dalam website resminya, Pihak RS Mitra Keluarga Kalideres memberikan pernyataan mengenai kematian Debora. Pihak rumah sakit mengklaim sudah memberi tindakan penyelamatan nyawa (life saving) berupa penyedotan lendir, pemasangan selang ke lambung dan intubasi (pasang selang napas). Lalu, melakukan bagging atau pemompaan oksigen dengan menggunakan tangan melalui selang napas, infus, obat suntikan, dan diberikan pengencer dahak (nebulizer). Pemeriksaan laboratorium dan radiologi juga sempat ingin dilakukan.
Pihak RS Mitra Keluarga dalam pernyataannya, juga sudah meminta orang tua pasien untuk merujuk Debora ke rumah sakit yang menerima pasien BPJS. Namun sebelum dirujuk, kondisi Debora memburuk.
Henny juga tak terima, ketika RS Mitra Keluarga memberikan keterangan pers ke wartawan. Salah satu poinnya, bahwa anaknya mengalami kekurangan gizi.
"Anak saya enggak kurang gizi, anak saya prematur," tegasnya.
Henny menduga keterangan kurang gizi itu untuk menggambarkan seolah dia tak merawat anaknya. Henny menegaskan, dia memiliki catatan medis anaknya sebagai bukti.
Jika RS Mitra Keluarga Kalideres benar-benar terbukti menolak Debora, tentu akan bertentangan dengan Undang-undang Republik Indonesia nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan.
Di Pasal 32 ayat 1 disebutkan, "Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu."
Dalam kasus Debora, pasien mengalami kondisi kritis dan harus segera dimasukkan ke ruang PICU. Dalam pasal 36 ayat 2 disebutkan, "Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka."
Tidak hanya itu, pada pasal 23 ayat 4 juga menyerukan hal serupa. "Selama memberikan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang mengutamakan kepentingan yang bernilai materi."
Dalam Pasal 5 ayat (1) juga diatur tentang hak pasien untuk mendapat akses kesehatan. "Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan."
Henny sudah melaporkan kasus mereka ke Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat. Dia mengadukan masalah pelayanan yang dialaminya ke Balai Kota.
"Saya hari Jumat kemarin sudah laporkan ke Pak Djarot melalui staf beliau," kata Henny.
Salah satu staf Djarot yang menerima laporan Henny, mengatakan akan memeriksa pengaduan mereka. Bila rumah sakit melakukan kesalahan, maka Pemprov DKI akan mengambil tindakan.
"Dia bilang, Ibu, ini kami akan periksa kalau memang terlihat atau terdapat ada yang miss atau ada masalah kami akan lakukan peringatan," ujar Henny.
Henny mengatakan dia memang warga Tangerang, tetapi kejadian ini berada di Jakarta Barat wilayah Djarot memimpin. Dia berharap aduannya bisa ditindaklanjuti.
"Kejadian itu di bawah wewenang Pak Djarot, pengaduan saya sebagai warga dengan pelayanan mereka," ujarnya.